Banyak sekali
Sastrawan-sastrawan di Indonesia yang telah menyumbangkan jerih pikiran mereka di
dunia sastra Indonesia. Berikut sedikit biografi maupun judul-judul karya yang saya
rangkum dari berbagai sumber.
Taufik Ismail
Taufiq Ismail lahir di
Bukittinggi, 25 Juni 1935. Taufiq merupakan
salah seorang pendiri Dewan Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM), dan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta LPKJ
tahun 1968. Di ketiga lembaga itu Taufiq mendapat berbagai tugas, yaitu
Sekretaris Pelaksana DKJ, Pj. Direktur TIM, dan Rektor LPKJ tahun 1968–1978.
Setelah berhenti dari tugas itu,
Taufiq bekerja di perusahaan swasta, sebagai Manajer Hubungan Luar PT Unilever
Indonesia tahun 1978-1990. Pada
tahun 1993 Taufiq diundang menjadi pengarang tamu di Dewan Bahasa dan Pustaka,
Kuala Lumpur, Malaysia. Sebagai penyair, Taufiq telah membacakan puisinya di
berbagai tempat, baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Dalam setiap
peristiwa yang bersejarah di Indonesia Taufiq selalu tampil dengan membacakan
puisi-puisinya, seperti jatuhnya Rezim Soeharto, peristiwa Trisakti, dan
peristiwa Pengeboman Bali.
Hasil karya TAUFIQ
ISMAIL
1. Tirani, Birpen KAMI Pusat (1966)
2. Benteng, Litera ( 1966)
3. Buku Tamu Musium Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta
-buklet baca puisi tahun 1972
4. Sajak Ladang Jagung, Pustaka Jaya (1974)
5. Kenalkan, Saya Hewan (sajak anak-anak), Aries Lima
(1976)
6. Puisi-puisi Langit, Yayasan Ananda (buklet baca
puisi) (1990)
7. Tirani dan Benteng, Yayasan Ananda (cetak ulang
gabungan) (1993)
8. Prahara Budaya (bersama D.S. Moeljanto), Mizan (1995)
AA Navis
Ali Akbar Navis atau AA Navis adalah seorang sastrawan
dan budayawan terkemuka di Indonesia. Karyanya yang paling fenomenal
adalah cerita pendek 'Robohnya Surau Kami' yang ia tulis pada 1955. Navis
dijuluki sebagai Sang Pencemooh karena tulisannya yang mengandung kritik
ceplas-ceplos dan apa adanya.
Kegiatan tulis menulis telah Navis jalani sejak 1950.
Namun hasil karyanya baru mendapat perhatian lima tahun setelah itu.
Kumpulan cerpen yang berjudul Robohnya Surau Kami merupakan salah satu
karya fenomenalnya yang pertama kali diterbitkan di media cetak tahun
1955. Robohnya Surau Kami juga terpilih menjadi salah satu cerpen terbaik
majalah sastra Kisah. Cerpen tersebut menjungkirbalikkan logika awam
tentang bagaimana seorang alim justru dimasukkan ke dalam neraka. Karena
dengan kealimannya, orang itu melalaikan pekerjaan dunia sehingga tetap
menjadi miskin. Dalam hal ini Navis menegaskan bahwa yang roboh itu
bukan dalam pengertian fisik, tapi tata nilai, seperti yang terjadi
sekarang di negeri ini.
Sepanjang hidupnya, kakek dari 13 orang cucu ini telah melahirkan
ratusan karya, mulai dari cerpen, novel, puisi, cerita anak-anak,
sandiwara radio, esai mengenai masalah sosial budaya, hingga penulisan
otobiografi dan biografi.
Pandangan pria berdarah Minang ini mengenai karya
sastra yang baik itu adalah keawetan sebuah karya yang dihasilkan. Ia
tidak ingin karyanya hanya seperti kereta api, yang mungkin saja bagus
akan tetapi hanya sekali lewat dan ada dimana-mana. Ia sendiri mengaku
menulis dengan satu visi, yaitu dengan niat bukan untuk mencari ketenaran.
Dalam konteks kesusastraan, Navis juga mengemukakan sebuah pandangan
bahwa kurikulum pendidikan nasional di Indonesia, mulai dari SD sampai
perguruan tinggi, hanya diajarkan untuk menerima, tidak diajarkan untuk
mengemukakan pemikiran. Oleh karena itu, terjadi pembodohan
terhadap generasi akibat tingkah polah kekuasaan. Menurutnya,
dengan memfungsikan pelajaran sastra dalam kurikulum
pendidikan nasional, dapat membangkitkan sikap kritis seseorang
dan memahami konsep-konsep tentang kehidupan.